Kamis, 27 Oktober 2011

analisis konflik dan solusinya konflik israel dan palestina

A. Pendahuluan
konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad keduabelas.[1] Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai “pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan” bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan sebulan terakhir ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.

Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin melucuti sisa-sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut. Sulit dibayangkan, jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.

Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu terakhir benar-benar menarik perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan masyarakat muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia akan kondisi Palestina yang menjadi korban keganasan agresi meliter Israel diungkapkan dalam berbagai bentuk solidaritas, mulai dari aksi kecamanan, kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta obat-obatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas semacam ini wajar dilakukan. Namun yang cukup menarik dari sekian banyak solidaritas yang ditujukan pada korban Palestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam. Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina, beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya sebagai “pasukan jihad”.

Fakta yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel-Palestina berhasil membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama. Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Istilah “jihad” sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian perang yang dilakukan di jalan Allah,[2] sehingga jika jihad dapat ditolerir dalam kasus ini, maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan di tengah masyarakat Islam tentang adanya “fakta lain“ di balik situasi konflik yang sejak lama terjadi antara Israel dan Palestina.

Fakta lain yang penulis maksud adalah dimensi politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada Israel.[3] Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari puluhan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik Israel-Palestina kerap “dimentahkan“ Amerika dengan vetonya. Ada hal lain yang lebih menarik, sunyinya sauara negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia yang dalam banyak hal dianggap sebagai “kampung halaman Islam”, dan berteman dekat dengan Amerika) semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras dalam kasus ini.

Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik sosial sendiri – sebagaimana dikatakan Oberschall mengutip Coser– diartikan sebagai “…a strugle over values or claims to status, power, and scare resource, in wich the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise injure or eliminate rivals.[4] Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social class conflict), konflik ras (ethnics and racial conflicts), konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik antar komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya.

Dalam kasus Israel-Palsestina, aspek politik bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut, demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik Israel-Palsetina murni sebagai konflik politik, sementara sebagian yang lain memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan terhadap “tanah yang dijanjikan” sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik. Pertanyaan yang mungkin lebih tepat adalah: aspek mana dari keduanya yang lebih dominan mewarnai konflik? dan atau, aspek mana yang lebih dulu memicu konfli. Tulisan yang dituangkan pada makalah ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.



B. Tiga Istilah Penting: Israel, Yahudi, dan Zionis

Membentangkan sejarah kelam hubungan Israel-Palestina yang kerap dikerumuni konflik berkepanjangan sama rumitnya dengan melacak sejarah Yahudi itu sendiri, namun upaya ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana konflik tersebut diwarnai oleh nuansa politik maupun teologis. Bahkan, seperti yang dituliskan Ralph Schoenman,[5] ketika seseorang berusaha untuk menguji asal usul, sejarah dan dinamika Zionisme (istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebutkan Yahudi), mereka akan bertemu dengan berbagai macam teror dan ancaman.[6] Apa yang ditulis Schoenman mungkin cukup sugestif mengingat ia adalah korban tidak langsung yang membangun sikap anti-pati pada Zionis (Israel). Namun demikian, pelajaran tersirat yang dapat dipetik dari catatan Schoenman adalah, sebauh gambaran tentang sulitnya melacak atau mengetahui informasi tentang Yahudi.

Apa yang ditegaskan Schoenman tentang sulitnya mendapatkan informasi tentang Yahudi, agaknya benar-benar di alami oleh seorang wartawan Kompas, Trias Kuncahyono, dalam perjalanan jurnalistiknya ke Jerusalem. Dalam bukunya berjudul: Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Trias bahkan menunjukkan kesulitan yang ditemukannya di berbagai tempat yang menggambarkan kecurigaan, kewaspadaan, dan bahkan menjurus pada kegamangan, dan fobia yang begitu tinggi dari orang-orang Israel. Kondisi semacam ini bukan kejadian langka yang dapat ditemukan ketika setiap orang ingin mengunjungi tanah Palestina sebagai wilayah yang dihuni dua bangsa keturunan Ibrahim yang tak pernah akur.[7]

Problem mendasar yang juga ditemukan ketika membicangkan Yahudi dalam berbagai aspek adalah inkonsistensi penggunaan istilah untuknya. Pada umumnya, penggunaan terminologi Zionisme dan Israel seringkali muncul sebagai kata ganti untuk menyebutkan Yahudi, padahal – menurut hemat penulis– untuk melihat problem Israel-Palestina secara objektif, penggunaan ketiga istiah ini harus dapat dibedakan. Pembedaan tersebut setidaknya dapat dirumuskan dengan memaparkan: pertama, Israel merupakan sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya penganut agama Yahudi, namun bukan berarti agama lain tidak tumbuh (diakui) di sana. John Obert Voll menyebutkan, komposisi umat Islam di negara Israel mencapai 10% pada akhir tahun 1960-an dan mereka menerima eksistensi muslim sebagai minoritas dengan sedikit tanda-tanda aktivisme Islam atau penegasan keyakinan Islam di depan umum. Perang Arab-Israel pada 1967 mengakibatkan pendudukan Israel atas wilayah West Bank milik Jordania dan wilayah lain yang secara substansial berpenduduk muslim, yang kemudian menyebabkan muslim Israel melakukan kontak dengan komunitas muslim yang lebih luas yang dapat memberikannya perasaan identitas yang lebih besar.[8]

Kedua, identitas Yahudi memang sulit untuk dipisahkan dengan bangsa Israel, namun terminologi ini tetap saja harus dipahami dari dimensi teologis untuk membedakannya dengan konsep teologi lain dari tiga agama besar keturunan Ibrahim: Yahudi, Nasrani, dan Islam.[9] Eratnya keterkaitan antara Yahudi dengan Israel sebagai identitas yang hampir mustahil dipisahkan setidaknya ditunjukkan oleh Law of Return Israel: “setiap orang yang memiliki kakek moyang Yahudi berhak untuk tinggal di Israel dan berhak mengklaim sebagai warga negara Israel.[10] Alih-alih, al Qur’ān sendiri memberikan sinyal tersebut dengan istilah “bani Israel” kepada kaum nabi musa yang diidentifikasi sebagai Yahudi.

Ketiga, isme yang melekat pada kata Zionis tentulah menunjukkan suatu faham; ajaran; cita-cita; sistem; ataupun sikap,[11] sebagai salah satu kelompok yang muncul dari kalangan Yahudi itu sendiri. Istilah Zionisme boleh jadi terambil dari kata Sion yang “legitimasinya” dapat ditemukan dalam kitab Suci Yahudi.[12] Karen Armstrong menyebutkan, Zionisme sebagai gerakan untuk membangun tanah air Yahudi di Palestina, merupakan respon kaum Yahudi terhadap modernisasi yang paling imajinatif dan paling luas jangkauannya.[13] Oleh karenanya, Zionisme hanya dapat dipahami sebagai gerakan untuk membangun negara Israel yang dalam faktanya menjadi gerakan paling berpengaruh, namun tetap saja Zinonisme tidak dapat diklaim sebagai seluruh orang Yahudi. Bahkan – seperti yang dituliskan Karen Armstong, kaum ortodoks Yahudi mengutuk gerakan zionis dengan istilah-istilah yang paling ekstrim.[14]

Berdasarkan tiga penggunaan terminologi (Israel, Yahudi, dan Zionisme) sebagaimaa dipaparkan di atas setidaknya telah menunjukkan perbedaan dan pembedaan secara substansial dari penggunaan ketiga istilah tersebut. Harus diakui, membedakan ketiga istilah ini merupakan pekerjaan yang sulit karena berbagai dasar dan argumentasi yang justru mempersamakan ketiganya. Namun demikian, memebdakan ketiga istilah ini sangat penting dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dan objektif dari setiap analisis yang dilakukan untuk melihat konflik Israel-Palestina.



C. Mengurai Konflik Israel-Palestina

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membeci Yahudi dengan segala macam “derivasinya”. Sikap anti-pati terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikann Islam.[15] Yahudi kerap digambarkan sebagai makhluk berwatak jelek, berwajah bengis dan berhati keji, sehingga tidak heran jika kemudian istilah “Yahudi” dijadikan sebagai bahasa cemooh untuk menyebutkan orang yang “bersifat jelek”.

Segala kemungkinan bisa saja terjadi ketika kebencian telah dijadikan sebagai landasan untuk berpikir dan bertindak. Dalam konflik Israel-Palestina misalnya, seruan agar umat Islam bersatu untuk melawan Zionis-Yahudi bukan sesuatu yang aneh disuarakan meski dengan alasan yang masih sulit ditebak: apakah merasa senasib dengan warga Islam Palestina, atau justru dipicu oleh kebencian terhadap Yahudi yang telah jauh ditanamkan. Sebaliknya, umat Islam dunia bahkan sulit untuk memberikan dukungan kepada pihak mana ketika terjadi perang Saudara Sunni-Syiah di wilayah Timur tengah, tetap saja sebagai perang melibatkan korban jiwa yang tidak dapat ditolerir secara kemanusiaan.

Hampir mustahil melacak kronologis sejak kapan umat Islam dididik untuk membenci Yahudi, namun fakta yang ada justru menunjukkan hubungan keduanya cukup baik sepanjang sejarah umat Islam awal hingga periode pertengahan. Dalam literatur Islam orang Yahudi diabadikan sejarah sebagai orang yang pernah menjadi sekretaris nabi khususnya untuk keperluan korespondensi luar negeri, bahkan nabi juga menunjukkan toleransinya kepada Yahudi dengan berpuasa pada saat mereka berpuasa.[16] Pada periode Islam di Spanyol, umat Islam, Yahudi, dan Kristen bersama-sama membangun dan menghasilkan sebuah peradaban yang berpengaruh pada Renaisance Eropa.[17]

Memang kerukunan yang terjalin antara umat Islam dan Yahudi bukan berarti tanpa konflik. Ketika pengaruh Muhammad semakin kuat dan daya imbau agama yang diajarkannya semakin terasa di kalangan Yahudi, para pemuka agama Yahudi mulai mengabaikan perjanjian damai yang pernah dibuat dengan umat Islam. Pengabaian terbuka atas perjanjian itu ditandai dengan masuk Islamnya Abdullah bin Salam, seorang rabi terpandang Yahudi yang sempat membujuk keluarganya untuk masuk ke agama Islam. Kondisi ini membuat Yahudi merasa terancam dan mulai melancarkan serangan teologis terhadap Muhammad dengan sejumlah pertanyaan dan perdebatan mengenai pokok-pokok dasar agama Islam. Kebijakan resmi untuk memerangi Yahudi digariskan Muhammad sejak pristiwa pelecehan seorang wanita muslim oleh sekelompok Yahudi bani Qainuqa. Sejak saat itu, satu persatu kelompok Yahudi diusir dari Madinah karena terbukti mendukung pihak Makkah. Kondisi ini – sebagaimana ditulis Hamid Basyaib – jelas menunjukkan pertikaian yang disebabkan oleh masalah politik.[18]

Hingga terjadi konflik Israel-Palestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai konflik Yahudi-Islam, analisis tentang masalah politik sebagai pemicu konflik juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini misalnya, merupakan konflik yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai. Seperti ditulis Trias Kuncahyono, Israel selalu mengatakan posisi legal internasional mereka atas Jerusalem berasal dari mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922). Di pihak lain, Palestina juga menyatakan Jerusalem (al Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu.[19] Pertikaian kedua belah pihak pada akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak atas tanah Palestina bukan sekedar menyangkut latar belakang sejarah dan wilyah politik, melainkan masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua pihak.

Trias Kuncahyono mengutip Dershowitz[20] menuliskan, pembagian Jerusalem – menjadi bagian Israel dan bagian Palestina – sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi tidak mudah diubah menjadi peta politik. Meskipun peta tersebut telah terbagi sebagai wilayah yang dihuni orang-orang Israel dan wilyah lain yang dihuni orang-orang Palestina, Jerusalem akan semakin sulit dibagi karena ia merupakan simbol tiga agama besar yang letaknya saling berdekatan. Jerusalem adalah pusat Yudaisme, tempat disalibnya Yesus dan kebangkitan serta kenaikannya ke surga, dan tempat yang diyakini umat Islam sebagai bagian dari perjalanan spiritualitas Muhammad ketika mengalami perjalanan malam dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha dan naik ke Sidratul Munthaha.

Yahudi menganggap Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” dan mayoritas mereka meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Israel sebagai intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang selama ini tertindas.[21] Pandangan ini mengakibatkan pergeseran paradigma politik yang mewarnai konflik Israel-Palestina ke paradigma teologis. Apalagi, mitos yang kerap dikembangkan untuk memberikan identitas pada Yahudi, adalah: “bangsa tanpa tanah untuk tanah tanpa bangsa”.[22] Streotipe tentang Yahudi sebagai “bangsa yang terusir dari tanahnya” ini juga telah berhasil membentuk konsep teologis orang-orang Yahudi, bahwa – seperti ditulis Karen Armstong – Tuhan memulai penciptaan dengan tindakan yang kejam karena keinginan untuk membuat dirinya dikenal oleh para makhluknya.[23] Keterkucilan dan pengasingan Yahudi bahkan pernah di alami Adam sebelumnya, karena dosa yang dilakukan Adam membuat ia terusir dari surga. Demikian Yahudi, mengembara ke seluruh penjuru dunia, menjadi terkucil selamanya, dan merindukan penyatuan kembali dengan Tuhan.[24]

Ada mitos lain yang menarik menyangkut konsep teologi Yahudi, yaitu penantian terhadap datangnya sorang Messiah selama berabad-abad yang diharapkan akan membawa keadilan dan perdamaian. Dalam keyakinan Yeshiva, sebuah sekte yang didirikan R. Shalom Dov Ber yang sangat khawatir terhadap masa depan agama Yahudi, mereka akan menjadi prajurit dalam pasukan rabi yang akan berperang tanpa kenal ampun dan kompromi untuk memastikan agama Yahudi sejati tetap bertahan, dan perjuangan mereka akan meratakan jalan bagi kedatangan Messiah.[25] Cukup beralasan jika kemudian keyakinan Yeshiva ini dipahami dengan pandangan: Messiah hanya akan turun ketika terjadi keberutalan dan peperangan (ingat mitos penciptaan Luria[26]).

Jika ditinjau dari latar belakang sejarah, konflik Israel-Palestina merupakan bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas sejak 1940-an. Agresi Meliter Israel terakhir yang dilancarkan sejak 26 Desember 2008 pada prinsipnya merupakan bagian yang tidak terpisah dari konflik Israel-Palestina sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, kronologi konflik Israel-Palestina dapat dipahami sebagaimana penjelasan berikut:


Kronologi dan Anatomi Konflik Israel-Palestina
Tahun Pristiwa Deskripsi

1917
Deklarasi Balfour

2 November 1917 Inggris memenangkan Deklarasi Balfour yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan tanah air bagi kaum Yahudi di Palestina.

1922
Mandat Palestina

1936-1939
Revolusi Arab

Pimpinan Amin al Husein yang menyebabkan tidak kurang 5000 warga Arab terbunuh

1947
Rencana pembagian wilayah oleh PBB

29 November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui untuk mengakhiri Mandat Britania untuk Palestina dari tanggal 1 Agustus 1948 dengan pemecahan wilayah mandat

1948
Deklarasi Negara Israel

Israel diproklamirkan pada tanggal 14 Mei 1948, sehari kemudian langsung diserang oleh tentara dari Libanon, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya. Israel berhasil memenangkan peperangan dan merebut + 70% dari luas total wilayah mandat PBB Britania Raya.

1949
Perseteujuan gencatan senjata

3 April 1949, Israel dan Arab sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan 50 persen lebih banyak dari yang diputuskan rencana pemisahan PBB

1956
Perang Suez
29 Oktober 1965, Krisis Suez, sebuah serangan meliter terhadap Mesir dilakukan oleh Britania Raya, Perancis dan Israel.

1964
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri

Mei 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri, tujuannya untuk menghancurkan Israel.

1967

perang enam hari
Dikenal dengan perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab: Mesir, Yordania dan Suriah, yang mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit.

Resolusi Khartoum
Sebuah pertemuan 8 pemimpin negara Arab pada tanggal 1 September 1967 karena terjadinya perang enam hari. Resolusi ini berlanjut ke perang Yom Kippur tahun 1973.

1968

Palestina menuntut pembekuan Israel
Perjanjian Nasional Palestina dibuat, dan secara resmi Palestina menuntut pembekuan Israel.

1970
War of Attrition

Setelah perang enam hari (5-10 Juni 1967), terjadi insiden serius di Terusan Suez. Tembakan pertama dilepaskan 1 Juli 1967, ketika pasukan Mesir menyerang patroli Israel, dan ini merupakan awal dari perang War of Attrition.

1973
Perang Yom Kippur

Dikenal juga dengan Perang Ramadhan pada tanggal 6-26 Oktober 1973 karena bertepatan dengan bulan ramadhan. Perang ini merupakan perang antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, terjadi pada hari raya Yom Kipur, hari raya yang paling besar dalam tradisi orang-orang Yahudi.

1978

Kesepakatan Camp David
Ditandatangani pada tanggal 17 September 1978 di Gedung Putih yang diselenggarakan untuk perdamaian di Tmur Tengah. Jimmy Carter (Presiden Amerika Serikat) memimpin perundingan rahasia yang berlangsung selama 12 hari antara Presiden Mesir, Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin.

1982
Perang Libanon

Perang antara Israel dan Libanon yang terjadi pada tanggal 6 Juni 1982 ketika angkatan bersenjata Israel menyerang Libanon Selatan.
1990-1991
Perang Teluk

1993
Kesepakatan damai antara Palestina dan Israel
13 September 1993, Israel dan PLO sepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pertemuan Yaser Arafat dan Israel Yitzhak Rabin berhasil melahirkan kesepakatan OSLO. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa memerintah di kedua wilayah. Arafat mengakui hak negara Israel untuk eksis secara aman dan damai.

1996
Kerusuhan teromongan al Aqsha
Israel sengaja membuka terowongan Masjid al Aqsha untuk memikiat para turis dan membahayakan fondasi mesjid bersejarah, pertempuran berlangsung beberapa hari.
1997
Israel menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat
1998
Perjanjian Wye River
Oktober 1998, Perjanjian Wye River yang berisi penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal.

2000
KTT Camp David
2002
Israel membangun tembok pertahanan di tepi Barat diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina
2004
Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus merobohkannya
2005
Mahmud Abbas terpilih menjadi Presiden


9 Januari 2005, Mahmud Abbas dari al Fatah terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina menggantikan Yaser Arafat yang wafat pada 11 November 2004

Juni 2005, pertemuan Mahmud Abbas dan Ariel Sharon di Yerusalem. Mahmud Abbas mengulur Jadwal Pemili karena mengkhawatirkan kemenangan diraih pihak Hammas

Agustus 2005, Israel hengkang dari pemukiman Gaza dan empat wilayah pemukiman di Tepi Barat

2006


Hamas memenangkan Pemilu
Januari 2006, Hammas memenangkan kursi Dewan Legislatif, menyudahi dominasi fatah selama 40 tahun
2008
Januari-Juli, ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus suplai listrik dan gas, Hamas dituding tidak mampu mengendalikan kekerasan

November 2008, Hamas batal ikut serta dalam pertemuan univikasi Palestina yang dilaksanakan di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di wilayah Israel.

26 Desember 2008, Agresi Israel ke Jalur Gaza. Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat operasi Hamas.

(Disadur dari beberapa sumber)

D. Analisis Sosial: Konflik Politik-Teologis

Berdasarkan uraian mengenai konflik Israel-Palestina sebagaimana dipaparkan di atas, terlihat jelas bahwa, baik dimensi politik maupun dimensi teologis menjadi dua hal yang sulit dipisahkan meskipun keduanya harus dapat dibedakan. Beberapa catatan mengenai konflik Israel-Palestina bahkan memperlihatkan sebuah analisis tentang pandangan konflik yang bermula dari persoalan politik ke teologis. Fakta semacam ini dapat dibenarkan, mengingat dalam litaratur Islam sendiri persoalan persoalan politik lebih dahulu muncul disusul dengan persoalan teologi. Seperti disebutkan Harun Nasution, memang agak aneh jika dikatakan bahwa persoalan yang pertama kali timbul dalam Islam adalah persoalan politik yang kemudian meningkat menjadi persoalan teologi, akan tetapi sejarah menunjukkan fakta tersebut.[27] Selain itu, sulitnya memisahkan antara konflik politik dengan konflik teologis tidak saja disebabkan oleh pergeseran otomatis yang terjadi dari masalah politik ke teologi sebagaimana yang seringkali muncul, akan tetapi konflik yang bermula dari persoalan teologi juga tidak jarang memasuki ranah politik sebagai reaksinya untuk “bertarung” melawan teologi yang lain. Dengan demikian, konflik politik maupun konflik teologis menjadi dua hal yang saling membaur dan membutuhkan peranan yang satu terhadap yang lainnya.

Dari berbagai catatan mengenai latar belakang konflik Israel-Palestina sebagai bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, tampak jelas bahwa konflik ini terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh masalah politik yang kemudian menjurus pada persoalan teologis. Tidak sepenuhnya benar pandangan yang menganggap bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai persoalan politik, sebab argumentasi teologis – khususnya yang datang dari pihak Yahudi – juga turut mengambil peranan dalam konflik ini. Pernyataan yang mungkin lebih tepat adalah, konflik Palestina-Israel merupakan konflik yang bermula dari persoalan politik dan sedikit melibatkan persoalan teologis. Namun demikian, sekecil apapun alasan teologis yang melatar belakangi konflik Israel Palestina, tetap saja alasan tersebut memiliki pengaruh yang besar pada kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh negara Israel.

Persoalan teologis yang penulis maksud adalah keyakinan bangsa Yahudi terhadap tanah yang dijanjikan dan harus direbut sebagai bentuk intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang telah tertindas. Konsep teologis tidak dimaksudkan sebagai perang agama yang terjadi antara agama Yahudi dan Islam yang menjadi pandangan “kolektif” hampir seluruh umat Islam, dan harus ditegaskan bahwa pandangan semacam ini merupakan pandangan yang keliru.[28] Sepanjang sejarahnya, konflik antara Yahudi dan Islam atas nama agama belum pernah terjadi, sungguhpun konflik Israel-Palestina telah berlangsung sejak enam puluh tahun silam. Sebaliknya, konflik atas nama agama justru dialami Yahudi dengan umat Nasrani, ketika Ferdinand dan Isabella menaklukan Granada pada tahun 1942 dan memerintahkan pengusiran perkampungan Yahudi yang mengakibatkan sekitar 70.000 kaum Yahudi berpindah ke agama Kristen, dan mereka yang terusir hidup di bawah perlindungan Islam (Imperium Utsmaniyah).[29]

Memahami situasi konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, analisis sosial tentu menjadi alternatif yang mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar yang tepat, karena konflik ini – secara luas – menyangkut masalah interaksi sosial yang menyentuh berbagai aspek. Interaksi sosial tidak selamanya dapat dipahami sebagai hubungan timbal balik yang bernilai kooperatif (cooperation), akan tetapi persaingan (competition) dan pertantangan maupun pertikaian (conflict) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial itu sendiri.[30] Holsti bahkan menyebutkan, pada dasarnya segala jenis hubungan (interaksi) menunjukkan adanya sifat konflik.[31] Karenanya, solusi untuk konflik sosial yang membingkai interaksi Israel-Palestina hanya dapat ditempuh melalui analisis sosial mengingat langkah ini dapat mengantarkan pemahaman pada faktor-faktor yang membentuk interaksi antar kelompok dan situasi yang membentuk interaksi tersebut pada level ketegangan maupun hubungan yang harmonis.[32]

Setidaknya, interaksi Israel-Palestina yang membentuk konflik teridentifikasi pada dua masalah besar: politik dan teologis. Jika dilacak dari latarbelakang sejarahnya, masalah politik pada prinsipnya menjadi pemicu utama yeng membentuk situasi konflik Israel-Palestina, dan argumentasi teologis tentang berbagai hal seperti: keyakinan tentang tanah yang dijanjikan; bangsa terpilih; maupun “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah”; menjadi kekuatan lain yang membentuk konflik. Beberapa kalangan bahkan menganggap argumentasi teologis ini merupakan politik mitos yang diciptakan oleh bangsa Yahudi sendiri untuk melegitimasi setiap tindakannya dalam mendapatkan “tanah yang dijanjikan”, sehingga pandangan ini semakin berpotensi membentuk anggapan bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai konflik yang dipicu oleh permasalahan politik.


E. Solusinya

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, tampak jelas bahwa kunci penyelesaian konflik Israel-Palestina sesungguhnya terletak pada kedua belah pihak yang bertikai. Penyelesaian konflik Israel Palestina akan sulit tercapai manakala pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mentaati kesepakatan yang telah diambil. Pada aspek politik, langkah bijak yang tentunya dapat dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai persoalan dari kedua belah pihak untuk mendapatkan kerja sama dengan kepentingan yang sama dari masing-masing kebijakan politik keduanya. Sementara pada aspek teologis, dialog merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan persoalan keduanya. Selain itu, aspek teologis agaknya tidak terlalu dominan mewarnai konflik, mengingat dalam sejarahnya hubungan teologis tiga agama besar pernah terjalin harmonis tanpa sentuhan “tangan-tangan politik”.
sumber www.google.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar