Senin, 31 Oktober 2011

Konflik Freeport papua

KONFLIK TAMBANG FREEPORT DI PAPUA
Konflik Freeport, Sebuah Ketidakadilan


KONFLIK berkepanjangan perusahaan tambang PT Freeport di Timika, Papua, terus berlanjut. Aksi protes yang awalnya dilakukan mahasiswa dan aktivis Papua, kini berkembang melibatkan tokoh-tokoh yang tergabung dalam Majelis Rakyat Papua (MRP) dan organisasi sipil lainnya. Tentunya kita prihatin meliha! t konflik yang terus terjadi di Papua, hingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa dari masyarakat sipil dan anggota TNI dan Polri, akibat bentrokan fisik.
Kini aksi demonstrasi sudah pada tahap tuntutan penutupan PT Freeport. Padahal, sebelumnya masyarakat hanya menuntut perlu dilakukan negosiasi ulang, yakni perbaikan kontrak karya yang lebih adil dan menguntungkan bagi masyarakat Papua. Bila saja konflik itu dibiarkan berlangsung, maka akan mempersulit posisi pemerintah dalam menyelesaikan konflik PT Freeport dan masyarakat Papua.
Seharusnya pihak pemerintah memberikan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Di satu sisi harus mengakomodasi keinginan masyarakat Papua yang semakin hari menunjukkan intensitas demonstrasinya. Yang secara emosional dan psikologis rakyat Papua yang mudah tersulut, jika dibangki! tkan dengan isu-isu ketidakadilan yang akan menjadi persoalan pelik dalam menyelesaikan konflik di Freeport. Di sisi lain, pemerintah juga dihadapkan pada pilihan bagaimana menyelamatkan sumber-sumber dana yang dihasilkan dari perusahaan tambang tersebut dan menyelamatkan karyawan PT Freeport.
Dalam empat tahun terakhir, sumbangan dari sektor tambang terhadap APBN tercatat rata-rata sekitar Rp 1,8 triliun. Dua pilihan inilah yang kini dihadapi pemerintah. Jika saja salah melangkah, konflik di Freeport bukan tidak mungkin akan menambah lagi eskalasi tindak kekerasan dan membangkitan persoalan-persoalan yang sebelumnya sudah disuarakan masyarakat Papua, yakni pelanggaran HAM, tuntutan merdeka, dan masalah sosial politik lainnya.
Dari hal ini tampaknya pemerintah memang tidak belajar dari konflik kerusuhan warga Da! yak Siang Murung Bakumbai melawan PT Indo Moro Kencana. Akibat, peraturan dan kebijakannya yang tidak memihak rakyat kecil, perusahaan-perusahaan besar kerap menelantarkan hak-hak mereka yang pada akhirnya menimbulkan anarkisme berkepanjangan.
Hal itu tidak jauh beda, dengan konflik-konflik di Timika, Papua. Bahkan mungkin dapat muncul di daerah lain. Karena itu, pemerintah dan DPR harus cermat, jeli, dan pandai-pandai memadukan antara kepentingan investasi (economic interest) dan pelayanan keberlangsungan pengelolaan sumber daya alam yang menghargai kearifan lokal dan keadilan bagi semua kelompok. Secara sosiologis, diperlukan sebuah undang-undang yang menjamin adanya keteraturan sosial (social order) dalam jangka panjang dan mencerminkan keadilan bagi semua pihak.
Pada awalnya, jika permasalahan! di Freeport adalah program pengembangan masyarakat maka masalah itu harus dibicarakan dengan benar, apakah dana yang menjadi kompensasi sudah didistribusikan dengan merata, atau sudah didistribusikan tapi tidak tepat penyalurannya. Jika kasusnya adalah konflik Freeport dengan penambang tanpa izin, maka harus dilihat undang-undang atau peraturan yang ada, sebab penambangan tanpa izin bukan hanya ada di Freeport, tapi juga di Kalimantan dan tempat lainnya.
Dari berbagai masalah yang timbul di PT Freeport ini setidaknya menunjukkan dua hal.
Pertama, apa yang terjadi di Papua semakin menunjukkan bahwa memang terjadi masalah besar dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Freeport adalah cermin buruknya pengelolaan sumber daya alam atau dengan kata lain peraturan perundang-undangan yang ada seka! rang memang belum menjamin penyelesaian sengketa yang lahir akibat praktik pertambangan, misalnya kasus lingkungan, hak atas tanah, dan kekerasan.
Kedua, banyaknya sengketa yang disebabkan oleh praktik pertambangan memperlihatkan bahwa UU No.11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan memang sudah usang dan tidak dapat dijadikan lagi sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa tambang, mengingat situasi dan perkembangan kegiatan pertambangan terus bergerak secara dinamis.
Menurut mantan Ketua MPR Amien Rais, PT Freeport Indonesia harus ditutup dahulu seiring banyaknya tuntutan dari warga Papua untuk menghentikan operasi perusahaan tambang tersebut pasca konflik antara aparat keamanan perusahaan dengan masyarakat setempat. Hal itu kita nilai sesuatu yang tepat. Ditutup sementara untu! k menyelesaikan beragam masalah yang terpendam bagaikan sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja. Solusinya tidak boleh setengah-setengah tapi harus tegas!
Adalah hak masyarakat di Papua untuk mengadukan siapa saja bila, melakukan pelanggaran hukum, termasuk PT Freeport Indonesia yang dinilai semena-mena dalam mengeksploitasi sumber daya alam berupa emas, perak, dan tembaga di Papua sehingga lingkungan di sekitarnya rusak dan tercemar limbah.
Contoh lain, apa yang dilakukan masyarakat di Teluk Buyat Sulawesi Utara. Mereka menuntut perusahaan pertambangan PT NMR karena dinilai melakukan pencemaran lingkungan, termasuk timbulnya bermacam penyakit berbahaya mendera masyarakat di sekitarnya. Hasilnya, gugatan yang dilakukan masyarakat dan lembaga pemerintah itu menghasilkan putusan yang positif. Pimpinan PT ! NMR bersedia membayar kompensasi 30 juta dolar AS dari tuntutan 124 juta dolar AS yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup.
Dalam kaitan gugatan penduduk Papua terhadap PT Freeport pun hendaknya pemerintah berpihak pada elemen masyarakat setempat. Apalagi yang dilakukan penduduk lokal adalah menambang emas dengan cara tradisional. Seharusnya kewajiban PT Freeport untuk menyertakan penduduk lokal dalam bekerja secara legal dengan menunjukkan komitmennya terhadap penanganan lingkungan secara benar dan berkelanjutan sehingga semua pihak merasa kehadiran PT Freeport sebagai pahlawan. Bukan sebagai musuh sehingga menimbulkan dendam kesumat sebagaimana yang terjadi selama ini, yang akhirnya menimbulkan masalah nasional, bahkan internasional.
Hal itu bisa terjadi karena pimpinan PT Freeport hanya mengedepankan asas m! anfaat, mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan dampak dan kesengsaraan masyarakat di sekitarnya. Sikap itu timbul tidak lepas dari sikap pemerintah yang lemah. Dengan demikian, PT Freeport akan serius menyelesaikan masalahnya. Kalau tetap dibiarkan beroperasi jelas tidak akan membawa manfaat bagi masyarakat maupun bagi pemerintah sementara eksploitasi alam Papua berlanjut terus.
Penutupan PT Freeport bukan tanpa risiko. Investor asing bisa saja takut menanamkan modalnya karena kondisi Indonesia dinilai tidak kondusif. Namun juga peringatan buat investor asing untuk menghargai masyarakat dan bangsa Indonesia. Jika kontrak baru dilakukan dan posisi Indonesia diuntungkan, begitu juga masyarakat Papua, tentulah PT Freeport boleh beroperasi lagi. Tapi, kalau "daging"-nya digondol ke Amerika, sementara "kotoran"-nya ditinggal begitu saja, wajar kalau kita mendesak pemerintahan untuk bertin! dak cepat, tepat, dan tegas menutup sementara PT Freeport sebagai salah satu lumbung emas terbesar di dunia.

Solusi

Tutup Freeport Solusi Bagi Papua Zona Damai
Kampung Banti Distrik Tembagapura mile 68 Freeport kembali terjadi konflik horizontal antara warga. Empat Orang Meninggal, Satu orang Luka Parah dan puluhan lainnya luka ringan. Konflik horizontal seperti yang terjadi sekarang sudah menjadi budaya adu domba rakyat yang dilakukan penguasa selama ini. Kampung Banti sangat jelas berada dalam wilayah konservasi emas yang dilakukan Freeport Mc Morant. Puluhan tahun lamanya semenjak beroparesi tiada kata aman bagi rakyat setempat, tetapi konflik terus terjadi.

Konflik Horizontal (perang suku) suatu irama konflik yang sering terjadi di Papua dahulu. Namun sekarang konflik budaya dahulu ini kini menjadi cengraman konflik kepentingan imperialis. Bentrok kelompok Dani dan Damal di kampung Banti Tembagapura bermula dari pengeroyokan aparat terhadap Peres Magai yang ditangkap aparat security FI-nasib Peres kemudian meninggal dalam Rumah Sakit Freeport Tembagapura. Pihak Keluarga peres menuntut Freeport bertanggungjawab, yang kemudian mengarah pada mobilisasi warga datangi freeport berbuntut pada skenario perang suku sekarang.

Konflik-Konflik Freeport

Penggusuran Suku Amungme dari grasberg ke Kwamki mengakkibatkan 75 persen generasi Amungme punah akibat geografis tempat tinggal berbeda. Perlawanan suku Amungme tahun 80an, korban berjatuhan, rentetan kekejaman militer memlalui operasi-operasi kopasus oleh Prabowo Subianto. Konflik antara dulang tradisional dengan Aparat Freeport terjadi tiap pekan. Agustus tahun 2006, konflik kelompok pecah kembali di Kwamki. Konflik yang terjadi akibat gesekan kepentingan tiga pihak; Freeport, Elite Lokal dan Militer Indonesia. Namun konflik tersebut dapat tertasi ketika 2 buah mobil milik PT. FI ditembak di mil 69.

Konflik sekarang di Papua semakin meningkat ekskalasinya. Peracunan, Teror dan Pembunuhan misterius setiap saat tak dapat dipungkiri terjadi. Namun tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan publik. Peristiwa Yambi puncak Jaya, Penembakan 3 warga yang berburu ditembak militer Indonesia di areal perusahaan PT. Mamberamo Alas Mandiri, pembunuhan seorang pelajar SMA oleh Pasukan Marinir di Sorong semua tak bisa disembunyikan.

Korban meninggal dalam konflik horizontal di banti; Termanus Magai, Eran Kogoya, Penus Waker, Kaminus Waker. Sedangkan korban luka parah; Meden Kula. Sampai sekarang bentrok masih berjalan, aparat TNI-POLRI tak berbuat apa-apa hanya jadi penonton. Sikap aparat selalu dungu dalam penyelesaian konflik adat. Cara-cara penyelesaian adat tidak bisa diharapkan sebagai satu-satunya jalan perdamaian. Kwamki mulai reda dalam perang saudara karena terjadi penyerangan atas 2 mobil milik Freeport, disaat itulah berbagai kesatuan tempur kepung kwamki sehingga konflik terhenti sampai sekarang merebak lagi di Tembagapura.

Tutup Freeport

Konflik di areal penambangan Freeport sekecil apapun menjadi perhatian internasonal. Penembakan 2 warga Amerika di mil 62-63, kongres Amerika Mengeluarkan kebijakan embargo peralatan militer bagi Indonesia. Kemudian, 2 Mobil milik Karyawan Freeport di tembak di mile 69 berbuntut pada kecaman internasional atas Susilo Bambang Yudhoyono yang tak mampu menyelesaikan konlik kwamki. Sekarang, disaat negara Indonesia dalam urusan Pemanasan Bumi status masyarakat adat Papua yang musti menjadi perhatian serius dalam andil perlindungan alam justeru bertikai. Disatu sisi indonesia turut ambil bagian dalam urusan perdaimaian di Libanon sampai sekarang tetapi konflik dalam negeri Indonesia berlalu begitu saja.

Bangsa Papua menjadi korban seumur hidup akibat cengraman Freeport dalam masalah refrendum tahun 1969, sampai sekarang penduduk Papua yang berkeinginan damai harus menjadi korban kepentingan semata freeport. Bukti pengotakan suku-suku. Dahulu freeport menjadikan 7 suku sebagai pemlik hak ulayat. Namun sampai sekarang terjadi bentrok di Banti, sejumlah usaha freeport untuk memutuskan 5 suku lainya, yang diprogandakan oleh beberapa agen freeport. Rencana tesebut sebagai akumulasi lahirnya perang suku di Banti.

Freeport akar semua persoalan dan perjuangan melawan konflik dimana perusahaan Amerika tersebut harus di tutup. Tabir sejarah konflik semakin jelas, upaya zona damai bagi Papua sangat mungkin terealisasi dengan jalan penutupan Tambang bermasalah ini. Bagi Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat { Eksekutif Nasional) dalam pers release hari ini bahwa; Freeport adalah pelaku utama kejahatan resistansial yang akan terus menerus terjadi dan dialami rakyat Papua Barat. Maka penutupan total Freeport harus digalang demi terwujudnya Papua Zona Damai. Tabir penindasan terus diberlakukan di Tanah Papua dalam ruang dan kaplingan kaum imperialis Freeport, British Gas dan sejumlah perusahaan lain yang keberadaan mereka merengguk dan mendatangkan beragam konflik. Kami juga mengutuk insiden di Banti dan Penembakan Di Manberamo Raya. Aparat TNI-POLRI harus ditarik dari Papua, Jakarta pasti kerdil karena tidak mampu menjawab problem rakyat Papua.

Sumber google

Kamis, 27 Oktober 2011

analisis konflik dan solusinya konflik israel dan palestina

A. Pendahuluan
konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad keduabelas.[1] Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai “pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan” bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan sebulan terakhir ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.

Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin melucuti sisa-sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut. Sulit dibayangkan, jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.

Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu terakhir benar-benar menarik perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan masyarakat muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia akan kondisi Palestina yang menjadi korban keganasan agresi meliter Israel diungkapkan dalam berbagai bentuk solidaritas, mulai dari aksi kecamanan, kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta obat-obatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas semacam ini wajar dilakukan. Namun yang cukup menarik dari sekian banyak solidaritas yang ditujukan pada korban Palestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam. Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina, beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya sebagai “pasukan jihad”.

Fakta yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel-Palestina berhasil membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama. Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Istilah “jihad” sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian perang yang dilakukan di jalan Allah,[2] sehingga jika jihad dapat ditolerir dalam kasus ini, maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan di tengah masyarakat Islam tentang adanya “fakta lain“ di balik situasi konflik yang sejak lama terjadi antara Israel dan Palestina.

Fakta lain yang penulis maksud adalah dimensi politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada Israel.[3] Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari puluhan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik Israel-Palestina kerap “dimentahkan“ Amerika dengan vetonya. Ada hal lain yang lebih menarik, sunyinya sauara negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia yang dalam banyak hal dianggap sebagai “kampung halaman Islam”, dan berteman dekat dengan Amerika) semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras dalam kasus ini.

Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik sosial sendiri – sebagaimana dikatakan Oberschall mengutip Coser– diartikan sebagai “…a strugle over values or claims to status, power, and scare resource, in wich the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise injure or eliminate rivals.[4] Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social class conflict), konflik ras (ethnics and racial conflicts), konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik antar komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya.

Dalam kasus Israel-Palsestina, aspek politik bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut, demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik Israel-Palsetina murni sebagai konflik politik, sementara sebagian yang lain memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan terhadap “tanah yang dijanjikan” sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik. Pertanyaan yang mungkin lebih tepat adalah: aspek mana dari keduanya yang lebih dominan mewarnai konflik? dan atau, aspek mana yang lebih dulu memicu konfli. Tulisan yang dituangkan pada makalah ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.



B. Tiga Istilah Penting: Israel, Yahudi, dan Zionis

Membentangkan sejarah kelam hubungan Israel-Palestina yang kerap dikerumuni konflik berkepanjangan sama rumitnya dengan melacak sejarah Yahudi itu sendiri, namun upaya ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana konflik tersebut diwarnai oleh nuansa politik maupun teologis. Bahkan, seperti yang dituliskan Ralph Schoenman,[5] ketika seseorang berusaha untuk menguji asal usul, sejarah dan dinamika Zionisme (istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebutkan Yahudi), mereka akan bertemu dengan berbagai macam teror dan ancaman.[6] Apa yang ditulis Schoenman mungkin cukup sugestif mengingat ia adalah korban tidak langsung yang membangun sikap anti-pati pada Zionis (Israel). Namun demikian, pelajaran tersirat yang dapat dipetik dari catatan Schoenman adalah, sebauh gambaran tentang sulitnya melacak atau mengetahui informasi tentang Yahudi.

Apa yang ditegaskan Schoenman tentang sulitnya mendapatkan informasi tentang Yahudi, agaknya benar-benar di alami oleh seorang wartawan Kompas, Trias Kuncahyono, dalam perjalanan jurnalistiknya ke Jerusalem. Dalam bukunya berjudul: Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Trias bahkan menunjukkan kesulitan yang ditemukannya di berbagai tempat yang menggambarkan kecurigaan, kewaspadaan, dan bahkan menjurus pada kegamangan, dan fobia yang begitu tinggi dari orang-orang Israel. Kondisi semacam ini bukan kejadian langka yang dapat ditemukan ketika setiap orang ingin mengunjungi tanah Palestina sebagai wilayah yang dihuni dua bangsa keturunan Ibrahim yang tak pernah akur.[7]

Problem mendasar yang juga ditemukan ketika membicangkan Yahudi dalam berbagai aspek adalah inkonsistensi penggunaan istilah untuknya. Pada umumnya, penggunaan terminologi Zionisme dan Israel seringkali muncul sebagai kata ganti untuk menyebutkan Yahudi, padahal – menurut hemat penulis– untuk melihat problem Israel-Palestina secara objektif, penggunaan ketiga istiah ini harus dapat dibedakan. Pembedaan tersebut setidaknya dapat dirumuskan dengan memaparkan: pertama, Israel merupakan sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya penganut agama Yahudi, namun bukan berarti agama lain tidak tumbuh (diakui) di sana. John Obert Voll menyebutkan, komposisi umat Islam di negara Israel mencapai 10% pada akhir tahun 1960-an dan mereka menerima eksistensi muslim sebagai minoritas dengan sedikit tanda-tanda aktivisme Islam atau penegasan keyakinan Islam di depan umum. Perang Arab-Israel pada 1967 mengakibatkan pendudukan Israel atas wilayah West Bank milik Jordania dan wilayah lain yang secara substansial berpenduduk muslim, yang kemudian menyebabkan muslim Israel melakukan kontak dengan komunitas muslim yang lebih luas yang dapat memberikannya perasaan identitas yang lebih besar.[8]

Kedua, identitas Yahudi memang sulit untuk dipisahkan dengan bangsa Israel, namun terminologi ini tetap saja harus dipahami dari dimensi teologis untuk membedakannya dengan konsep teologi lain dari tiga agama besar keturunan Ibrahim: Yahudi, Nasrani, dan Islam.[9] Eratnya keterkaitan antara Yahudi dengan Israel sebagai identitas yang hampir mustahil dipisahkan setidaknya ditunjukkan oleh Law of Return Israel: “setiap orang yang memiliki kakek moyang Yahudi berhak untuk tinggal di Israel dan berhak mengklaim sebagai warga negara Israel.[10] Alih-alih, al Qur’ān sendiri memberikan sinyal tersebut dengan istilah “bani Israel” kepada kaum nabi musa yang diidentifikasi sebagai Yahudi.

Ketiga, isme yang melekat pada kata Zionis tentulah menunjukkan suatu faham; ajaran; cita-cita; sistem; ataupun sikap,[11] sebagai salah satu kelompok yang muncul dari kalangan Yahudi itu sendiri. Istilah Zionisme boleh jadi terambil dari kata Sion yang “legitimasinya” dapat ditemukan dalam kitab Suci Yahudi.[12] Karen Armstrong menyebutkan, Zionisme sebagai gerakan untuk membangun tanah air Yahudi di Palestina, merupakan respon kaum Yahudi terhadap modernisasi yang paling imajinatif dan paling luas jangkauannya.[13] Oleh karenanya, Zionisme hanya dapat dipahami sebagai gerakan untuk membangun negara Israel yang dalam faktanya menjadi gerakan paling berpengaruh, namun tetap saja Zinonisme tidak dapat diklaim sebagai seluruh orang Yahudi. Bahkan – seperti yang dituliskan Karen Armstong, kaum ortodoks Yahudi mengutuk gerakan zionis dengan istilah-istilah yang paling ekstrim.[14]

Berdasarkan tiga penggunaan terminologi (Israel, Yahudi, dan Zionisme) sebagaimaa dipaparkan di atas setidaknya telah menunjukkan perbedaan dan pembedaan secara substansial dari penggunaan ketiga istilah tersebut. Harus diakui, membedakan ketiga istilah ini merupakan pekerjaan yang sulit karena berbagai dasar dan argumentasi yang justru mempersamakan ketiganya. Namun demikian, memebdakan ketiga istilah ini sangat penting dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dan objektif dari setiap analisis yang dilakukan untuk melihat konflik Israel-Palestina.



C. Mengurai Konflik Israel-Palestina

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membeci Yahudi dengan segala macam “derivasinya”. Sikap anti-pati terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikann Islam.[15] Yahudi kerap digambarkan sebagai makhluk berwatak jelek, berwajah bengis dan berhati keji, sehingga tidak heran jika kemudian istilah “Yahudi” dijadikan sebagai bahasa cemooh untuk menyebutkan orang yang “bersifat jelek”.

Segala kemungkinan bisa saja terjadi ketika kebencian telah dijadikan sebagai landasan untuk berpikir dan bertindak. Dalam konflik Israel-Palestina misalnya, seruan agar umat Islam bersatu untuk melawan Zionis-Yahudi bukan sesuatu yang aneh disuarakan meski dengan alasan yang masih sulit ditebak: apakah merasa senasib dengan warga Islam Palestina, atau justru dipicu oleh kebencian terhadap Yahudi yang telah jauh ditanamkan. Sebaliknya, umat Islam dunia bahkan sulit untuk memberikan dukungan kepada pihak mana ketika terjadi perang Saudara Sunni-Syiah di wilayah Timur tengah, tetap saja sebagai perang melibatkan korban jiwa yang tidak dapat ditolerir secara kemanusiaan.

Hampir mustahil melacak kronologis sejak kapan umat Islam dididik untuk membenci Yahudi, namun fakta yang ada justru menunjukkan hubungan keduanya cukup baik sepanjang sejarah umat Islam awal hingga periode pertengahan. Dalam literatur Islam orang Yahudi diabadikan sejarah sebagai orang yang pernah menjadi sekretaris nabi khususnya untuk keperluan korespondensi luar negeri, bahkan nabi juga menunjukkan toleransinya kepada Yahudi dengan berpuasa pada saat mereka berpuasa.[16] Pada periode Islam di Spanyol, umat Islam, Yahudi, dan Kristen bersama-sama membangun dan menghasilkan sebuah peradaban yang berpengaruh pada Renaisance Eropa.[17]

Memang kerukunan yang terjalin antara umat Islam dan Yahudi bukan berarti tanpa konflik. Ketika pengaruh Muhammad semakin kuat dan daya imbau agama yang diajarkannya semakin terasa di kalangan Yahudi, para pemuka agama Yahudi mulai mengabaikan perjanjian damai yang pernah dibuat dengan umat Islam. Pengabaian terbuka atas perjanjian itu ditandai dengan masuk Islamnya Abdullah bin Salam, seorang rabi terpandang Yahudi yang sempat membujuk keluarganya untuk masuk ke agama Islam. Kondisi ini membuat Yahudi merasa terancam dan mulai melancarkan serangan teologis terhadap Muhammad dengan sejumlah pertanyaan dan perdebatan mengenai pokok-pokok dasar agama Islam. Kebijakan resmi untuk memerangi Yahudi digariskan Muhammad sejak pristiwa pelecehan seorang wanita muslim oleh sekelompok Yahudi bani Qainuqa. Sejak saat itu, satu persatu kelompok Yahudi diusir dari Madinah karena terbukti mendukung pihak Makkah. Kondisi ini – sebagaimana ditulis Hamid Basyaib – jelas menunjukkan pertikaian yang disebabkan oleh masalah politik.[18]

Hingga terjadi konflik Israel-Palestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai konflik Yahudi-Islam, analisis tentang masalah politik sebagai pemicu konflik juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini misalnya, merupakan konflik yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai. Seperti ditulis Trias Kuncahyono, Israel selalu mengatakan posisi legal internasional mereka atas Jerusalem berasal dari mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922). Di pihak lain, Palestina juga menyatakan Jerusalem (al Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu.[19] Pertikaian kedua belah pihak pada akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak atas tanah Palestina bukan sekedar menyangkut latar belakang sejarah dan wilyah politik, melainkan masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua pihak.

Trias Kuncahyono mengutip Dershowitz[20] menuliskan, pembagian Jerusalem – menjadi bagian Israel dan bagian Palestina – sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi tidak mudah diubah menjadi peta politik. Meskipun peta tersebut telah terbagi sebagai wilayah yang dihuni orang-orang Israel dan wilyah lain yang dihuni orang-orang Palestina, Jerusalem akan semakin sulit dibagi karena ia merupakan simbol tiga agama besar yang letaknya saling berdekatan. Jerusalem adalah pusat Yudaisme, tempat disalibnya Yesus dan kebangkitan serta kenaikannya ke surga, dan tempat yang diyakini umat Islam sebagai bagian dari perjalanan spiritualitas Muhammad ketika mengalami perjalanan malam dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha dan naik ke Sidratul Munthaha.

Yahudi menganggap Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” dan mayoritas mereka meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Israel sebagai intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang selama ini tertindas.[21] Pandangan ini mengakibatkan pergeseran paradigma politik yang mewarnai konflik Israel-Palestina ke paradigma teologis. Apalagi, mitos yang kerap dikembangkan untuk memberikan identitas pada Yahudi, adalah: “bangsa tanpa tanah untuk tanah tanpa bangsa”.[22] Streotipe tentang Yahudi sebagai “bangsa yang terusir dari tanahnya” ini juga telah berhasil membentuk konsep teologis orang-orang Yahudi, bahwa – seperti ditulis Karen Armstong – Tuhan memulai penciptaan dengan tindakan yang kejam karena keinginan untuk membuat dirinya dikenal oleh para makhluknya.[23] Keterkucilan dan pengasingan Yahudi bahkan pernah di alami Adam sebelumnya, karena dosa yang dilakukan Adam membuat ia terusir dari surga. Demikian Yahudi, mengembara ke seluruh penjuru dunia, menjadi terkucil selamanya, dan merindukan penyatuan kembali dengan Tuhan.[24]

Ada mitos lain yang menarik menyangkut konsep teologi Yahudi, yaitu penantian terhadap datangnya sorang Messiah selama berabad-abad yang diharapkan akan membawa keadilan dan perdamaian. Dalam keyakinan Yeshiva, sebuah sekte yang didirikan R. Shalom Dov Ber yang sangat khawatir terhadap masa depan agama Yahudi, mereka akan menjadi prajurit dalam pasukan rabi yang akan berperang tanpa kenal ampun dan kompromi untuk memastikan agama Yahudi sejati tetap bertahan, dan perjuangan mereka akan meratakan jalan bagi kedatangan Messiah.[25] Cukup beralasan jika kemudian keyakinan Yeshiva ini dipahami dengan pandangan: Messiah hanya akan turun ketika terjadi keberutalan dan peperangan (ingat mitos penciptaan Luria[26]).

Jika ditinjau dari latar belakang sejarah, konflik Israel-Palestina merupakan bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas sejak 1940-an. Agresi Meliter Israel terakhir yang dilancarkan sejak 26 Desember 2008 pada prinsipnya merupakan bagian yang tidak terpisah dari konflik Israel-Palestina sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, kronologi konflik Israel-Palestina dapat dipahami sebagaimana penjelasan berikut:


Kronologi dan Anatomi Konflik Israel-Palestina
Tahun Pristiwa Deskripsi

1917
Deklarasi Balfour

2 November 1917 Inggris memenangkan Deklarasi Balfour yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan tanah air bagi kaum Yahudi di Palestina.

1922
Mandat Palestina

1936-1939
Revolusi Arab

Pimpinan Amin al Husein yang menyebabkan tidak kurang 5000 warga Arab terbunuh

1947
Rencana pembagian wilayah oleh PBB

29 November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui untuk mengakhiri Mandat Britania untuk Palestina dari tanggal 1 Agustus 1948 dengan pemecahan wilayah mandat

1948
Deklarasi Negara Israel

Israel diproklamirkan pada tanggal 14 Mei 1948, sehari kemudian langsung diserang oleh tentara dari Libanon, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya. Israel berhasil memenangkan peperangan dan merebut + 70% dari luas total wilayah mandat PBB Britania Raya.

1949
Perseteujuan gencatan senjata

3 April 1949, Israel dan Arab sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan 50 persen lebih banyak dari yang diputuskan rencana pemisahan PBB

1956
Perang Suez
29 Oktober 1965, Krisis Suez, sebuah serangan meliter terhadap Mesir dilakukan oleh Britania Raya, Perancis dan Israel.

1964
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri

Mei 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri, tujuannya untuk menghancurkan Israel.

1967

perang enam hari
Dikenal dengan perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab: Mesir, Yordania dan Suriah, yang mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit.

Resolusi Khartoum
Sebuah pertemuan 8 pemimpin negara Arab pada tanggal 1 September 1967 karena terjadinya perang enam hari. Resolusi ini berlanjut ke perang Yom Kippur tahun 1973.

1968

Palestina menuntut pembekuan Israel
Perjanjian Nasional Palestina dibuat, dan secara resmi Palestina menuntut pembekuan Israel.

1970
War of Attrition

Setelah perang enam hari (5-10 Juni 1967), terjadi insiden serius di Terusan Suez. Tembakan pertama dilepaskan 1 Juli 1967, ketika pasukan Mesir menyerang patroli Israel, dan ini merupakan awal dari perang War of Attrition.

1973
Perang Yom Kippur

Dikenal juga dengan Perang Ramadhan pada tanggal 6-26 Oktober 1973 karena bertepatan dengan bulan ramadhan. Perang ini merupakan perang antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, terjadi pada hari raya Yom Kipur, hari raya yang paling besar dalam tradisi orang-orang Yahudi.

1978

Kesepakatan Camp David
Ditandatangani pada tanggal 17 September 1978 di Gedung Putih yang diselenggarakan untuk perdamaian di Tmur Tengah. Jimmy Carter (Presiden Amerika Serikat) memimpin perundingan rahasia yang berlangsung selama 12 hari antara Presiden Mesir, Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin.

1982
Perang Libanon

Perang antara Israel dan Libanon yang terjadi pada tanggal 6 Juni 1982 ketika angkatan bersenjata Israel menyerang Libanon Selatan.
1990-1991
Perang Teluk

1993
Kesepakatan damai antara Palestina dan Israel
13 September 1993, Israel dan PLO sepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pertemuan Yaser Arafat dan Israel Yitzhak Rabin berhasil melahirkan kesepakatan OSLO. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa memerintah di kedua wilayah. Arafat mengakui hak negara Israel untuk eksis secara aman dan damai.

1996
Kerusuhan teromongan al Aqsha
Israel sengaja membuka terowongan Masjid al Aqsha untuk memikiat para turis dan membahayakan fondasi mesjid bersejarah, pertempuran berlangsung beberapa hari.
1997
Israel menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat
1998
Perjanjian Wye River
Oktober 1998, Perjanjian Wye River yang berisi penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal.

2000
KTT Camp David
2002
Israel membangun tembok pertahanan di tepi Barat diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina
2004
Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus merobohkannya
2005
Mahmud Abbas terpilih menjadi Presiden


9 Januari 2005, Mahmud Abbas dari al Fatah terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina menggantikan Yaser Arafat yang wafat pada 11 November 2004

Juni 2005, pertemuan Mahmud Abbas dan Ariel Sharon di Yerusalem. Mahmud Abbas mengulur Jadwal Pemili karena mengkhawatirkan kemenangan diraih pihak Hammas

Agustus 2005, Israel hengkang dari pemukiman Gaza dan empat wilayah pemukiman di Tepi Barat

2006


Hamas memenangkan Pemilu
Januari 2006, Hammas memenangkan kursi Dewan Legislatif, menyudahi dominasi fatah selama 40 tahun
2008
Januari-Juli, ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus suplai listrik dan gas, Hamas dituding tidak mampu mengendalikan kekerasan

November 2008, Hamas batal ikut serta dalam pertemuan univikasi Palestina yang dilaksanakan di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di wilayah Israel.

26 Desember 2008, Agresi Israel ke Jalur Gaza. Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat operasi Hamas.

(Disadur dari beberapa sumber)

D. Analisis Sosial: Konflik Politik-Teologis

Berdasarkan uraian mengenai konflik Israel-Palestina sebagaimana dipaparkan di atas, terlihat jelas bahwa, baik dimensi politik maupun dimensi teologis menjadi dua hal yang sulit dipisahkan meskipun keduanya harus dapat dibedakan. Beberapa catatan mengenai konflik Israel-Palestina bahkan memperlihatkan sebuah analisis tentang pandangan konflik yang bermula dari persoalan politik ke teologis. Fakta semacam ini dapat dibenarkan, mengingat dalam litaratur Islam sendiri persoalan persoalan politik lebih dahulu muncul disusul dengan persoalan teologi. Seperti disebutkan Harun Nasution, memang agak aneh jika dikatakan bahwa persoalan yang pertama kali timbul dalam Islam adalah persoalan politik yang kemudian meningkat menjadi persoalan teologi, akan tetapi sejarah menunjukkan fakta tersebut.[27] Selain itu, sulitnya memisahkan antara konflik politik dengan konflik teologis tidak saja disebabkan oleh pergeseran otomatis yang terjadi dari masalah politik ke teologi sebagaimana yang seringkali muncul, akan tetapi konflik yang bermula dari persoalan teologi juga tidak jarang memasuki ranah politik sebagai reaksinya untuk “bertarung” melawan teologi yang lain. Dengan demikian, konflik politik maupun konflik teologis menjadi dua hal yang saling membaur dan membutuhkan peranan yang satu terhadap yang lainnya.

Dari berbagai catatan mengenai latar belakang konflik Israel-Palestina sebagai bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, tampak jelas bahwa konflik ini terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh masalah politik yang kemudian menjurus pada persoalan teologis. Tidak sepenuhnya benar pandangan yang menganggap bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai persoalan politik, sebab argumentasi teologis – khususnya yang datang dari pihak Yahudi – juga turut mengambil peranan dalam konflik ini. Pernyataan yang mungkin lebih tepat adalah, konflik Palestina-Israel merupakan konflik yang bermula dari persoalan politik dan sedikit melibatkan persoalan teologis. Namun demikian, sekecil apapun alasan teologis yang melatar belakangi konflik Israel Palestina, tetap saja alasan tersebut memiliki pengaruh yang besar pada kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh negara Israel.

Persoalan teologis yang penulis maksud adalah keyakinan bangsa Yahudi terhadap tanah yang dijanjikan dan harus direbut sebagai bentuk intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang telah tertindas. Konsep teologis tidak dimaksudkan sebagai perang agama yang terjadi antara agama Yahudi dan Islam yang menjadi pandangan “kolektif” hampir seluruh umat Islam, dan harus ditegaskan bahwa pandangan semacam ini merupakan pandangan yang keliru.[28] Sepanjang sejarahnya, konflik antara Yahudi dan Islam atas nama agama belum pernah terjadi, sungguhpun konflik Israel-Palestina telah berlangsung sejak enam puluh tahun silam. Sebaliknya, konflik atas nama agama justru dialami Yahudi dengan umat Nasrani, ketika Ferdinand dan Isabella menaklukan Granada pada tahun 1942 dan memerintahkan pengusiran perkampungan Yahudi yang mengakibatkan sekitar 70.000 kaum Yahudi berpindah ke agama Kristen, dan mereka yang terusir hidup di bawah perlindungan Islam (Imperium Utsmaniyah).[29]

Memahami situasi konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, analisis sosial tentu menjadi alternatif yang mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar yang tepat, karena konflik ini – secara luas – menyangkut masalah interaksi sosial yang menyentuh berbagai aspek. Interaksi sosial tidak selamanya dapat dipahami sebagai hubungan timbal balik yang bernilai kooperatif (cooperation), akan tetapi persaingan (competition) dan pertantangan maupun pertikaian (conflict) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial itu sendiri.[30] Holsti bahkan menyebutkan, pada dasarnya segala jenis hubungan (interaksi) menunjukkan adanya sifat konflik.[31] Karenanya, solusi untuk konflik sosial yang membingkai interaksi Israel-Palestina hanya dapat ditempuh melalui analisis sosial mengingat langkah ini dapat mengantarkan pemahaman pada faktor-faktor yang membentuk interaksi antar kelompok dan situasi yang membentuk interaksi tersebut pada level ketegangan maupun hubungan yang harmonis.[32]

Setidaknya, interaksi Israel-Palestina yang membentuk konflik teridentifikasi pada dua masalah besar: politik dan teologis. Jika dilacak dari latarbelakang sejarahnya, masalah politik pada prinsipnya menjadi pemicu utama yeng membentuk situasi konflik Israel-Palestina, dan argumentasi teologis tentang berbagai hal seperti: keyakinan tentang tanah yang dijanjikan; bangsa terpilih; maupun “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah”; menjadi kekuatan lain yang membentuk konflik. Beberapa kalangan bahkan menganggap argumentasi teologis ini merupakan politik mitos yang diciptakan oleh bangsa Yahudi sendiri untuk melegitimasi setiap tindakannya dalam mendapatkan “tanah yang dijanjikan”, sehingga pandangan ini semakin berpotensi membentuk anggapan bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai konflik yang dipicu oleh permasalahan politik.


E. Solusinya

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, tampak jelas bahwa kunci penyelesaian konflik Israel-Palestina sesungguhnya terletak pada kedua belah pihak yang bertikai. Penyelesaian konflik Israel Palestina akan sulit tercapai manakala pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mentaati kesepakatan yang telah diambil. Pada aspek politik, langkah bijak yang tentunya dapat dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai persoalan dari kedua belah pihak untuk mendapatkan kerja sama dengan kepentingan yang sama dari masing-masing kebijakan politik keduanya. Sementara pada aspek teologis, dialog merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan persoalan keduanya. Selain itu, aspek teologis agaknya tidak terlalu dominan mewarnai konflik, mengingat dalam sejarahnya hubungan teologis tiga agama besar pernah terjalin harmonis tanpa sentuhan “tangan-tangan politik”.
sumber www.google.co.id

analisis konflik dan solusinya kondlik israel dan palestina

Corporate social responbility

apa itu CSR?
tanggung jawab sosial orporate [1] adalah suatu bentuk perusahaan pengaturan diri diintegrasikan ke dalam model bisnis. (CSR, perusahaan juga disebut hati nurani, kewarganegaraan perusahaan, kinerja sosial, atau bisnis yang bertanggung jawab berkelanjutan) Kebijakan CSR berfungsi sebagai mekanisme built-in, mengatur diri sendiri dimana bisnis monitor dan memastikan kepatuhan aktif dengan semangat hukum, standar etika, dan norma-norma internasional. Tujuan dari CSR adalah untuk merangkul tanggung jawab atas tindakan perusahaan dan mendorong dampak positif melalui kegiatan terhadap lingkungan, konsumen, karyawan, masyarakat, stakeholder dan semua anggota lain dari ruang publik. Selanjutnya, CSR yang berfokus pada bisnis secara proaktif akan mempromosikan kepentingan publik (PI) dengan mendorong pertumbuhan dan pengembangan masyarakat, dan secara sukarela menghilangkan praktek-praktek yang membahayakan ruang publik, terlepas dari legalitas. CSR adalah masuknya sengaja PI ke dalam pengambilan keputusan perusahaan, yang merupakan bisnis inti dari perusahaan atau perusahaan, dan menghormati dari triple bottom line: manusia, planet, dan keuntungan.

Para "tanggung jawab sosial perusahaan" istilah datang untuk menggunakan umum di akhir 1960-an dan awal 1970-an, setelah banyak perusahaan multinasional terbentuk. Stakeholder panjang, yang berarti mereka pada siapa aktivitas organisasi memiliki dampak, digunakan untuk menggambarkan pemilik perusahaan di luar pemegang saham sebagai akibat dari sebuah buku berpengaruh oleh R. Edward Freeman, Manajemen strategis: suatu pendekatan stakeholder pada tahun 1984 [2] Pendukung berdebat. bahwa perusahaan membuat keuntungan jangka panjang lebih dengan mengoperasikan dengan perspektif, sementara kritikus berpendapat bahwa CSR mengalihkan perhatian dari peran ekonomi bisnis. Lainnya berpendapat CSR hanyalah etalase, atau upaya untuk mendahului peran pemerintah sebagai pengawas atas perusahaan multinasional yang kuat.

CSR berjudul untuk membantu misi organisasi serta panduan untuk apa perusahaan berdiri dan akan menjunjung tinggi kepada konsumen. Pengembangan etika bisnis merupakan salah satu bentuk etika terapan yang mengkaji prinsip-prinsip etika dan masalah moral atau etis yang dapat timbul dalam lingkungan bisnis. ISO 26000 adalah standar internasional yang diakui untuk CSR. Organisasi sektor publik (PBB misalnya) mematuhi triple bottom line (TBL). Sudah diterima secara luas bahwa CSR menganut prinsip yang sama tetapi dengan tidak ada tindakan formal undang-undang. PBB telah mengembangkan Prinsip Investasi Bertanggung jawab sebagai pedoman untuk berinvestasi entiti
Baru! Klik kata di atas untuk melihat terjemahan alternatif. Singkirkan
Google Terjemahan untuk:PenelusuranVideoEmailPonselObrolan
Bisnis:Perangkat PenerjemahPeluang Pasar GlobalPenerjemah Situs Web
Tentang Google TerjemahanMatikan terjemahan instanPrivasiBantuan

Manfaat dan keuntungan bagi perusahaan dan masyaraakat :

Skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu organisasi dapat bervariasi tergantung pada sifat dari perusahaan, dan sulit untuk diukur, meskipun ada tubuh besar bisnis literatur mendesak untuk mengadopsi langkah-langkah luar yang keuangan (misalnya, Empatbelas Deming Poin , Scorecard seimbang). Orlitzky, Schmidt, dan Rynes [10] menemukan korelasi antara kinerja sosial / lingkungan dan kinerja keuangan. Namun, bisnis tidak mungkin melihat jangka pendek kembali keuangan mereka ketika mengembangkan strategi CSR.

Definisi CSR yang digunakan dalam suatu organisasi dapat bervariasi dari definisi yang ketat "dampak pemangku kepentingan" yang digunakan oleh pendukung CSR banyak dan sering akan mencakup upaya amal dan relawan. CSR dapat didasarkan dalam sumber daya manusia, pengembangan bisnis atau departemen PR organisasi, [11] atau dapat diberikan unit terpisah melaporkan kepada CEO atau dalam beberapa kasus langsung ke papan. Beberapa perusahaan dapat mengimplementasikan CSR-jenis nilai tanpa sebuah tim jelas atau program.

Kasus bisnis untuk CSR dalam perusahaan kemungkinan akan beristirahat pada satu atau lebih dari argumen ini:
Sumber daya manusia

Sebuah program CSR dapat bantuan untuk perekrutan dan retensi, [12] khususnya dalam pasar yang kompetitif mahasiswa pascasarjana. Potensi merekrut sering bertanya tentang kebijakan CSR perusahaan selama wawancara, dan memiliki kebijakan yang komprehensif dapat memberikan keuntungan. CSR juga dapat membantu meningkatkan persepsi perusahaan diantara para staf, terutama ketika staf dapat menjadi terlibat melalui pemberian gaji, kegiatan penggalangan dana atau komunitas sukarela. CSR telah ditemukan untuk mendorong orientasi pelanggan antara karyawan garis depan. [13]
Manajemen risiko

Mengelola risiko adalah bagian sentral dari strategi perusahaan. Reputasi yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk membangun dapat musnah dalam sekejap melalui insiden seperti skandal korupsi atau skandal lingkungan hidup [14]. Ini juga dapat menarik perhatian yang tidak diinginkan dari penguasa, pengadilan, pemerintah dan media. Membentuk suatu budaya dari "mengerjakan hal yang benar" pada perusahaan dapat mengurangi risiko ini [15].
Merek diferensiasi

Dalam pasar yang ramai, perusahaan berusaha untuk proposisi penjualan yang unik yang dapat memisahkan mereka dari persaingan di benak konsumen. CSR dapat berperan dalam membangun loyalitas pelanggan berdasarkan pada nilai-nilai etika yang khas [16]. Beberapa merek utama seperti Kelompok Co-operative, The Body Shop dan American Apparel [17] yang dibangun pada nilai-nilai etis. Bisnis organisasi pelayanan bisa mendapatkan keuntungan juga dari membangun reputasi untuk integritas dan praktik terbaik.

Perusahaan selalu berupaya agar menghindari gangguan dalam bisnis mereka melalui perpajakan atau peraturan. Dengan mengambil langkah-langkah sukarela substantif, mereka dapat meyakinkan pemerintah dan masyarakat luas bahwa mereka mengambil isu-isu seperti kesehatan dan keselamatan, keragaman, atau lingkungan serius sebagai warga perusahaan yang baik sehubungan dengan standar-standar tenaga kerja dan dampak terhadap lingkungan.

contoh perusahaan yang memakasi Csr :

McDonald's Corporation's
British american tobacco
Marks and Spencer

Minggu, 16 Oktober 2011

Teori etika bisnis

1.Etika teologi
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika.[rujukan?] Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:[8]

Revisionisme[rujukan?]

Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.

Sintesis[rujukan?]

Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

Diaparalelisme[rujukan?]

Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.

Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis.[rujukan?] Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat.[rujukan?] Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.[9]

Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya.[10] Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja.[rujukan?] Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

2. Egoisme etis

Perbedaan antara Egoisme Psikologis dan Egoisme Etis adalah bahwa Egoisme Psikologis berbicara tentang sifat perbuatan manusia, sedangkan Egoisme Etis berbicara tentang bagaimana seharusnya kita berbuat. Egoisme Etis adalah sebuah teori normatif yang menyatakan bahwa tiap orang harus mencari kebahagiaan dan pemuasaan egonya masing-masing.
Ada tiga argumen yang mendukung Egoisme Etis.

2.1 Setiap manusia paling tahu tentang kemampuan dan keinginan dirinya. Tindakan seseorang menolong orang lain seringkali justru berakhir dengan menambah beban orang yang hendak ditolongnya. Oleh sebab itu, kebijakan ‘peduli pada orang lain’ adalah menipu diri. Dalam kata2 Robert G. Olson, ‘The individual is most likely to contribute to social betterment by rationally pursuing his own best long-range interests’. Tapi, dalam kenyataannya, argumen ini tidak mendukung Egoisme Etis, sebab argumen ini hanya berujung dengan kesimpulan bahwa tiap orang harus memiliki kebijakan tertentu menyangkut tindakan2nya. Dengan demikian, semua kebijakan rasional yang kita lakukan pada gilirannya akan memberikan manfaat buat tiap orang. Artinya, kebijakan2 itu bukan semata-mata egoistis. Langkah2 kita pun pada puncaknya bertujuan demi kebaikan dan kemaslahatan bersama.

2.2 Egoisme Etis berpijak pada realitas tiap individual, kata Ayn Rand, yang banyak terkikis akibat ajakan kepada altruisme. Inti argumen ini: karena manusia hanya punya satu kehidupan yang paling berharga, sementara altruisme adakalanya membuat satu kehidupan yang paling berharga itu harus dikorbankan demi orang lain, Egoisme Etis berupaya mengembalikannya pada posisi puncaknya seperti semula. Namun, argumen ini memiliki cacat besar, karena altruisme bukan saja tidak menganggap kehidupan individual sebagai tidak berharga atau patut dikorbankan setiap kali ada kesempatan untuk itu, melainkan altruisme sangat menghargai kehidupan individual sehingga pengorbanannya membuahkan tindakan moral yang sangat tinggi atau demi tujuan yang lebih tinggi daripada harga kehidupan individual tersebut.

2.3 Egoisme Etis menyatakan bahwa kita harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Ini barangkali merupakan argumen terbaik untuk mendukung Egoisme Etis. Tapi, argumen ini tidak menggugurkan kemungkinan alasan lain di balik tindakan altruistik seseorang kepada orang lain. Banyak orang yang berbuat untuk orang lain bukan semata-mata berangkat dari motif agar orang memperlakukan dirinya dengan cara yang sama, melainkan juga demi alasan2 lain. Padahal, argumen ini benar bila hanya inilah satu-satunya alasan orang harus berbuat baik kepada sesama manusia.

Ada tiga argumen bantahan untuk Egoisme Etis.

1 Egoisme Etis tidak bisa memberikan solusi dalam kasus2 yang mengandung konflik kepentingan. Tapi, kaum egois etis dapat menyatakan bahwa hidup adalah serangkaian konflik kepentingan, agar tiap manusia berjuang untuk mencapai puncak.

3.2 Egoisme Etis berujung pada kontradiksi, sebab satu perbuatan yang seharusnya dilakukan untuk kebaikan diri seseorang adakalnya merupakan perbuatan sama yang seharusnya dicegah oleh orang lain. Padahal, Egoisme Etis menyatakan bahwa tiap individu haru melakukan apa yang terbaik untuk dirinya, sehingga mengakibatkan terjadinya kontradiksi antara satu tindakan moral yang sama-sama baik oleh dua individu yang bertentangan. Namun, para pendukung bisa menyatakan bahwa Egoisme Etis tidak menyalahkan pelaku A yang hendak mencegah perbuatan pelaku B yang bisa merugikan A. Dengan demikian, kontradiksi itu terhapuskan.

3.3 Bantahan ketiga atas Egoisme Etis sama dengan bantahan yang umum diberikan atas rasisme atau zionisme. Kaum rasis menyatakan bahwa di dunia ini ada dua kelompok manusia: pertama, ras A; dan kedua, ras B. Lalu, kedua ras ini seharusnya diperlakukan secara berbeda. Padahal, apabila kita melihat secara objektif kedua ras itu tidak memiliki perbedaan yang menjadikan salah satunya harus diperlakukan dengan lebih baik. Demikian pula halnya dengan Egoisme Etis yang menuntut pembedaan antara diri sendiri dan semua manusia lain. Padahal, kecuali memang berbeda, diri sendiri dan manusia yang lain itu tidak berbeda. Jadi, pembedaan yang diberikan itu murni merupakan argumen arbitrer yang tidak bisa diterima. ‘We should care about the interests of other people for the same reason we care about our own interests; for their needs and desires are comparable to our own’.

3.utilitarisme

Secara estimologi, “utilitarisme’ berasal dari kata utilisdalam bahasa latin yang berarti berguna atau berfaedah. Menurut utilitarisme, sesuatu perbuatan atau tindakan adalah baik jikalau tindakan tersebut bermanfaat atau berguna. Pada tataran ini gagasan atau ajaran utilitarisme persis menyentuh situasi konkret manusia, yakni kondisi riil manusia pada saat yang menghadapi berbagai alternatif atau kemungkinan untuk bertindak atau kondisi dimana manusia harus memilih alternatif tindakan manakah yang semestinya didahulukan dan manakah yang seharusnya ditunda.

Sebagai teori etika, utilitarisme sering juga disebut the greatest happiness theory atau teori kebahagiaan terbesar. Sebagai patokan dapat dipegang teguh prinsip utilitarisme tindakan: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang.” Sementara prinsip yang berlaku untuk utilitarisme peraturan : “Bertindaklah menurut peraturan yang pelaksanaannya akan menghasilkan kebaikan atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang.” Di sini jelas sasaran bidik utilitarisme adalah tujuan dari tindakan yang mau dilakukan atau peraturan yang mau dipatuhi. Maksudnya suatu tindakan adalah baik secara moral jika menghasilkan kebaikan atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang yang terkena dampak dari tindakan tersebut.

Menurut Jeremy Bentham, dapat dikatakan bahwa pengukuran atau perhitungan suatu tindakan akan menghasilkan saldo positif (kebahagiaan), jika kredit (kesenangan), melebihi debetnya (rasa sakit). Tetapi bagi Stuart Mill, lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada menjadi seekor babi yang puas, lebih baik menjadi Socrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang puas. Lalu Stuart Mill juga menegaskan “Everybody to count for one, nobody to count for more than one.” Dengan penegasan itu Stuart mau menggarisbawahi kebahagiaan masing-masing atau kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian harus

4.deontologi
Deontologi berasal dari kata Yunani “deon” yang berarati apa yang harus dilakukan, kewajiban. Pemikiran ini dikembangkan oleh filosof Jerman,Immanuel Kant (1724-1804). Sistem etika selama ini yang menekankan akibat sebagai ukuran keabsahan tindakan moral dikritik habis-habisan oleh Kant. Kant memulai suatu pemikiran baru dalam bidang etika dimana ia melihat tindakan manusia absah secara moral apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban (duty) dan bukan akibat. Menurut Kant, tindakan yang terkesan baik bisa bergeser secara moral apabila dilakukan bukan berdasarkan rasa kewajiban melainkan pamrih yang dihasilkan. Perbuatan dinilai baik apabila dia dilakukan semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu kewajiban.

Kant membedakan antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis sebagai dua perintah moral yang berbeda. Imperatif kategoris merupakan perintah tak bersyarat yang mewajibkan begitu saja suatu tindakan moral sedangkan imperatif hipotesis selalu mengikutsertakan struktur “jika.. maka.. “.

Kant menganggap imperatif hipotetis lemah secara moral karena yang baik direduksi pada akibatnya saja sehingga manusia sebagai pelaku moral tidak otonom (manusia bertindak semata-mata berdasarkan akibat perbuatannya saja). Otonomi manusia hanya dimungkinkan apabila manusia bertindak sesuai dengan imperatif kategoris yang mewajibkan tanpa syarat apapun. Perintah yang berbunyi “lakukanlah” (du sollst!). Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan moral seperti janji harus ditepai, barang pinjaman harus dikembalikan dan lain sebagainya. Imperatif kategoris bersifat otonom (manusia menentukan dirinya sendiri) sedangkan imperati hipotetis bersifat heteronom (manusia membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan dan emosi).

Berkenaan dengan pemikiran deontologinya, Kant mengemukakan duktum moralnya yang cukup terkenal: “bertindaklah sehingga maxim (prinsip) dari kehendakmu dapat selalu, pada saat yang sama, diberlakukan sebagai prinsip yang menciptakan hukum universal. Contoh tindalah moral “jangan membunuh” adalahbesar secara etis karena pada saat yang sama dapat diunverasalisasikan menjadi prinsip umum, (berlaku untuk semua orang dimana saja kapan saja).

sumber google

Senin, 03 Oktober 2011

Pengertian dan contoh etika bisnis

Kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “ Ethos” yang berarti adat, akhlak, waktu perasaan, sikap dan cara berfikir atau adat-istiadat. Etik adalah suatu studi mengenai yang benar dan yang salah dan pilihan moral yang dilakukan oleh seseorang. Etika adalah tuntutan mengenai perilaku, sikap dan tindakan yang diakui, sehubungan suatu jenis kegiatan manusia. Etika bisnis merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari dalam perusahaan itu sendiri

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-carauntuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yangberkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantungpada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan transaksi dan kegiatan yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.

C. KEPENTINGAN ETIKA DALAM BISNIS

Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan erusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :

1. Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.

2. Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.

3. Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga

4. Akan meningkatkan keunggulan bersaing.

Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif,misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling. berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.

Kasus yang paling populer adalah Enron, Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi.

Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.

Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis.

Dalam waktu sangat singkat perusahaan yang tahun lalu masih membukukan pendapatan US$100 miliar, sekonyong-konyong harus melaporkan kebangkrutannya kepada otoritas pasar modal. Sebagai entitas bisnis, nilai kerugian Enron diperkirakan mencapai US$ 50 miliar. Sementara itu, pelaku pasar modal kehilangan US$ 32 miliar dan ribuan pegawai Enron harus menangisi amblasnya dana pensiun mereka tak kurang dari US$ 1 miliar. Saham Enron yang pada Agustus 2000 masih berharga US$ 90 per lembar, terjerembab jatuh hingga tidak lebih dari US$ 45 sen. Tidak heran kalau banyak kalangan menyebut peristiwa ini sebagai kebangkrutan terbesar dalam sejarah bisnis di Amerika Serikat. Sedemikian hebohnya, sampai-sampai seluruh media bisnis dan ekonomi terkemuka menempatkannya sebagai cover story. Majalah Time, Fortune, dan Business Week mengulasnya berhalaman-halaman. Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu, belakangan Enron dicurigai telah melakukan praktek window dressing. Manajemen Enron telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 miliar (!) Menggelembungkan nilai pendapatan dan menyembunyikan utang senilai itu tentulah tidak bias dilakukan sembarang orang. Diperlukan keahlian "akrobatik" yang tinggi dari para professional yang bekerja pada atau disewa oleh Enron untuk menyulap angka-angka, sehingga selama bertahun-tahun kinerja keuangan perusahaan ini tampak tetap mencorong. Dengan kata lain, telah terjadi sebuah kolusi tingkat tinggi antara manajemen Enron, analis keuangan, para penasihat hukum, dan auditornya.

Komplikasi skandal ini bertambah, karena belakangan diketahui banyak sekali pejabat tinggi gedung putih dan politisi di Senat Amerika Serikat yang pernah menerima kucuran dana politik dari perusahaan ini. 70 persen senator, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, pernah menerima dana politik. Dalam Komite yang membidangi energi, 19 dari 23 anggotanya juga termasuk yang menerima sumbangan dari perusahaan itu. Sementara itu, tercatat 35 pejabat penting pemerintahan George W. Bush merupakan pemegang saham Enron, yang telah lama merupakan perusahaan publik. Dalam daftar perusahaan penyumbang dana politik, Enron tercatat menempati peringkat ke-36, dan penyumbang peringkat ke-12 dalam penggalangan dana kampanye Bush. Akibat pertalian semacam itu, banyak orang curiga pemerintahan Bush dan para politisi telah dan akan memberikan perlakuan istimewa, baik dalam bisnis Enron selama ini maupun dalam proses penyelamatan perusahaan itu.

Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen.

Masyarakat akhirnya juga lebih aware terhadap pasar modal. Pemerintah pun juga makin hati-hati dalam melakukan pengawasan. Penyempurnaan terhadap sistem terus dilakukan. Salah satunya adalah lahirnya Sarbanes-Oxley Act. Akibat mendzolimi pelaku pasar lainnya, Enron akhirnya terkapar karena melakukan penipuan dan penyesatan. Pun bagi “Enron-wannabe” lainnya, perlu berpikir ulang dua-tiga kali untuk melakukan hal serupa.

Pelajaran apa yang dapat diambil dari megaskandal ini. Pertama, cepat atau lambat sebuah persekongkolan jahat pasti akan terbongkar. Kebohongan hanya bisa ditutupi secara permanen apabila si pelaku mampu secara permanen dan terus-menerus melakukan kebohongan lainnya. Dalam sebuah sistem terbuka seperti organisasi Enron, sulit untuk melakukan kebohongan itu secara terus-menerus, karena pelaku organisasi dalam tubuh Enron datang silih berganti. Dalam kasus Enron, seorang eksekutif yang berani telah membongkar semua persekongkolan itu.

Kedua, kasus-kasus kejahatan ekonomi tingkat tinggi selalu saja mengorbankan kepentingan orang banyak. Segelintir petinggi Enron dan sejumlah pihak yang tahu betul dan ikut merekayasa permainan ini, tentulah menerima manfaat keuangan dalam jumlah besar secara tidak etis.

Keserakahan segelintir profesional yang memanfaatkan ketidaktahuan dan keawaman banyak orang telah menyimpan bencana yang mencelakakan banyak pihak: ribuan pekerja, pemegang saham, para pemasok, kreditor, dan pihak-pihak lainnya.

Ketiga, terbongkarnya praktek persekongkolan tingkat tinggi ini menjadi bukti bahwa praktek bisnis yang bersih dan transparan akan lebih langgeng (sustainable). Prinsip-prinsip tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance), saat ini boleh jadi menjadi cibiran di tengah situasi yang serba semrawut. Tetapi berusaha secara transparan, fair, akuntabel, seraya menjaga keseimbangan lingkungan, kiranya merupakan sikap yang lebih bertanggung jawab.
Memang benar. Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuh
dari : google dan hasil pemikiran mahasiswa sendiri